Dari sebuah survei global yang digelar oleh lembaga riset Ipsos bekerjasama dengan Reuters, terungkap lebih dari 10 persen orangtua di seluruh dunia mengakui bahwa anak-anak mereka pernah jadi target penindasan di Internet.
Dari 18 ribu orang dewasa di 24 negara yang disurvei (6.500 di antaranya memiliki anak kecil) yang menyatakan merasa anaknya pernah menjadi korban, mencapai 25 persen.
Menurut Karen Gottfried, peneliti dari Ipsos, lebih dari tiga perempat responden di jajak pendapat itu menilai cyberbullying berbeda dari bentuk penindasan lain. Untuk itu, kejahatan ini butuh perhatian khusus dari orangtua dan sekolah.
Yang menarik, dari survei itu juga diketahui bahwa tingkat kesadaran terhadap adanyacyberbullying di Indonesia paling tinggi. Sebanyak 91 persen dari para responden di negeri ini mengaku telah mengetahui praktikcyberbullying.
Persentasenya lebih tinggi dibanding Australia (87 persen) dan Amerika Serikat (82 persen). Rusia sendiri termasuk yang tingkat kesadaran akan adanya cyberbullyingterendah bersama Arab Saudi yakni 35 dan 29 persen.
Seperti diketahui, cyberbullying adalah tindakan seorang atau sekelompok anak kecil maupun remaja secara sengaja mengintimidasi, mengancam, atau mempermalukan seorang, atau sekelompok anak lain melalui teknologi informasi, seperti media sosial ataumobile device.
Sebanyak 60 persen responden menyebutkan cyberbullying terjadi di sejumlah laman media sosial terkemuka seperti Facebook. Perangkat telekomunikasi bergerak (mobile devices) dan percakapan di Internet (online chat rooms) masing-masing menempati peringkat kedua dan ketiga.
“Survei ini merupakan studi tingkat global pertama untuk mengetahui kesadaran dan beragamnya praktik cyberbullying,” kata Gottfried. “Ini sudah menjadi masalah serius, karena di AS saja sudah ada beberapa kasus bunuh diri akibat yang bersangkutan menjadi korban praktik penindasan di dunia maya itu,” ucapnya.
Cyberbullying, daur ulang kekerasan
Menurut Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ariest Merdeka Sirait, praktekcyberbullying merupakan salah satu bentuk daur ulang kekerasan dalam bentuk lain yakni dalam bentuk verbal.
Menurutnya, kekerasan verbal dalam internet seiring kemajuan teknologi sudah sering terjadi karena kekerasan verbal dalam dunia maya lebih fleksibel. Saat ini semakin banyak komentar-komentar yang tidak etis dalam jejaring sosial bila menanggapi sesuatu hal.
“Harusnya ada etika komunikasi, boleh beda pendapat, tapi jangan maki-maki, itu sangat menyakitkan,” kata Ariest pada VIVAnews, 12 Januari 2012. “Namun, mengingat ruang dunia maya sulit untuk dikendalikan, orang tua harus berperan dalam melindungi anak dalam berinteraksi di Internet,” ucapnya.
Orang tua, kata Ariest, harus berdiskusi dengan anaknya tentang bagaimana memanfaatkan internet dengan sehat, tumbuhkan kesadaran menggunakan teknologi dengan baik. Dialog antara orang tua dengan anak, lanjutnya, merupakan syarat agar tidak terjadi kesenjangan komunikasi dengan anak. “Pengasuhan anak harus diubah biar komunikasi seimbang,” tambahnya.
Senada dengan hal tersebut, pemerhati anak, Seto Mulyadi juga menggarisbawahi peran komunikasi antar keluarga ini. “Orang tua hendaknya memperbaiki komunikasi, jangan sampai tingkat komunikasi di antara mereka rendah,” ujar Kak Seto, panggilan akrabnya.
Landasan Hukum
Kembali ke hasil survei, sebanyak 91 persen responden dari Indonesia mengaku telah mengetahui adanya praktik cyberbullying. Lalu, jika menurut pengakuan responden bahwa mereka pernah, apa yang seharusnya dilakukan?
Kak Seto memandang pentingnya kampanye luas di media massa untuk menghindarkan praktek cyberbullying dari anak-anak. “Cyberbullying mengancam pendidikan anak dan membuat anak stres dan down,” katanya. Dengan terjalin komunikasi, praktek cyberbullying, menurutnya dapat ditangkis. Tindakan lain, lanjutnya, yakni segera melaporkan ke pihak kepolisian bila mengetahui praktek tersebut. “Laporkan jika mengatahui praktek tersebut,” kata Kak Seto.
Sayangnya, terkait dengan regulasi, di Indonesia memang belum ada aturan yang secara komprehensif tentang cyberbullying. Kita belum punya regulasi yang mengatur hal itu.
“Meski tidak secara spesifik mengatur cyberbullying, aturan terkait hal ini masih terakomodasi secara umum di UU Informasi Teknologi dan Elektronika (ITE),” kata Gatot S Dewa Broto, Kepala Humas Depkominfo pada VIVAnews. “Tetapi, jika terjadi praktek bullying, menekan anak dan itu terpublikasikan, bisa diadukan dengan UU ITE,” jelasnya.
Gatot mengatakan, tidak tertutup kemungkinan, pihaknya membuat aturan lebih spesifik soal cyberbullying, jika ada permintaan dari pihak terkait. “Masalah cyberbullying ini kan domainnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan KPAI,” ucapnya.
UU ITE, menurut Gatot, sudah cukup untuk mengakomodasi praktek cyberbullying. “Laporkan saja jika sampai ada pengancaman, penipuan, mencemooh atau mempersoalkan SARA,” ucapnya. “Di pasal 27 sampai 37, sudah ada terkait larangan-larangan,” ujar Gatot melanjutkan.
Menurut data dari KPAI, Ariest menyebutkan, sepanjang tahun 2011, telah terjadi 12 laporan penculikan anak dengan pemicu dari internet. “Itu dari 182 lokus penculikan anak secara umum,” sebutnya.
Dengan makin demam teknologi saat ini, kata Ariest, pihaknya memperingatkan pada semua pihak cyberbullying ataupun kejahatan di dunia maya lainnya terhadap anak-anak merupakan tanggungjawab bersama, tidak hanya orang tua saja.
“Seiring dengan adanya desa Internet yang terus digalakkan pemerintah, maka kampanye sadar internet juga harus dilakukan,” kata Ariest. “Ini PR kita semua,” ujarnya.
Hargai penulis dengan cara memberikan komentar di artikel ini ya sobat.
Dan berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan.
"Jangan Menggunakan Link Aktif di Komentar" (akan dihapus)
Untuk menyisipkan gambar dalam komentar : <i rel="image">URL GAMBAR</i>